Friday, March 12, 2010

Cerita Tentang Ibu

Pada sebuah kesempatan saat kuliah, salah satu dosen kami bercerita. Hal yang biasa sebagai selingan dari materi yang beliau sampaikan. Ada beberapa cerita yang sempat terulang, misalnya kisah Rabi'ah Al Adawiyah. Kali ini, ceritanya tentang seorang ulama yang sudah banyak menghasilkan karya.

Ulama yang satu ini, aku agak lupa persisnya nama ulama tersebut, saking rajinnya mencari ilmu dan menulis sehingga tidak sempat makan. Ibunya yang melihat hal itu tidak tega dan menyuapi makanan kepada anaknya tersebut. Hmm, saking konsentrasinya dengan apa yang dikerjakan (menulis) anak tersebut sampai tak sadar kalau makanannya sudah habis. Setelah aktivitasnya selesai, dia kembali meminta makan kepada sang ibu, hehe.

Di sini, aku bukannya menyorot keseriusan ulama tersebut karena saking seriusnya belajar sampai tidak sadar makanannya sudah habis, tapi kemuliaan seorang ibu.

Ketika sang dosen bercerita hal tersebut, aku langsung ingat ibuku. Seringkali ketika aku sibuk di depan komputer, ibu menyodorkan makanan siap saji, hehe bukan junk food, tapi nasi yang sudah beserta lauk dan sayur, kalau perlu plus buah. Tak jarang, ketika disodorkan makanan tersebut, aku menaruh kembali di meja dan ibu menyuruh aku segera memakannya. Berhenti sejenak dari aktivitas yang ibu tahu konsekuensinya.

Suatu kali, ketika aku sibuk bermain dengan 3 keponakanku di depan laptop. Merekam kegiatan mereka dari menyanyi, bercanda dan lain-lain, ibu pun kembali menyodorkan makan malam. Hehehe, aku sampai lupa kalau belum makan karena sedang seru-seruan dengan mereka. Akhirnya, aku dan kedua keponakanku yang masih bertahan di depan laptop menikmati makanan dari ibu.

Tidak hanya pada aku ibu berbuat seperti itu, kepada kedua kakakku juga sama. Pokoknya harus makan, harus sehat. Kalau susah diingatkan ya langsung disodorkan.

Itu hanya salah satu contoh kebaikan yang ibu berikan kepada kami, masih banyak hal lain yang kalau mengingatnya membuatku menangis. Di usia tuanya, ibu masih terus memberikan segalanya kepada kami dengan melimpahnya pengertian yang beliau miliki. Padahal ibu juga punya impian untuk mengurus mbah yang usianya makin tua di kampung.

Kini, ibu lebih sering tinggal di rumah kakak yang masih repot-repotnya mengurus 4 anak yang masih kecil. Sesekali, ibu pulang ke rumah kami di sini yang sekarang dihuni aku dan kakak laki-lakiku yang sudah menikah.

Dari dulu, kalau bisa aku lihat dengan matahati ibu dan bapak benar-benar seimbang mendidik kami. Bapak dengan ketegasan dan kemandirian dan ibu dengan kelembutan dan kasih sayang. Ibu juga menjadi 'jembatan' antara kami semua. Ibu titik sentral keluarga kami. Ibu tempat curhat segala-galanya, bahkan ibu juga bagai teman bagiku. Ibu jarang menentangku, hampir selalu menuruti keinginanku.



Dengan argumen yang kuat dan kesungguhanku untuk membuktikan serta kecintaan pada sesuatu, ibu akan mendukung hal tersebut. Ketika aku ingin kuliah lagi, ketika aku tidak mau kerja kantoran, ketika aku ingin kursus, ketika aku lebih memilih tinggal sendiri saat itu, ketika banyak hal yang terjadi dalam hidupku, beliau selalu dan selalu mendukung.

Ibu juga tak jarang mengkritik dan menasehatiku. Ibu tak pernah menuntutku macam-macam. Ibu tahu benar, keinginanku banyak, aktivitasku juga banyak, aku ingin ini dan itu, dan di sana ibu selalu menjadi tempat mengadu dan manajer yang selalu mengingatkan.

Ibu juga suka bercerita tentang masa lalu, masa kecil, ketika baru menikah, ketika menjalani masa-masa berat pindah ke Jakarta, dan banyak lagi. Aku selalu senang mendengar cerita ibu. Aku jadi tahu kalau ibu pernah menempuh jalan yang cukup jauh untuk jualan bakwan dan makanan kecil lainnya sambil menggendong aku yang masih bayi.

Aku jadi ingat, ibu pula yang mengajarkanku jualan es, tidak hanya mengajarkan, tetapi membuatkan ketika malam-malam. Ibu meracik susu coklat dan sirup dan kemudian kami akan membungkusnya. Hasil penjualan es bisa untuk membayar listrik saat itu.

Aku merasa mendapat begitu banyak dari sosoknya, tetapi makin hari merasa kurang memberi kepadanya... .

Menyadari sekali belakangan ini, aku terlalu sibuk dengan aktivitasku, belakangan malah ibu kembali menurutiku untuk menjalani aktivitas baru yang insya Allah akan dimulai bulan April.
Aku tahu aku sudah cukup dewasa dalam mengambil keputusan, tetapi aku merasa perlu melaporkan segala hal yang aku lakukan kepada ibu, apalagi hal itu berkenan dengan pekerjaan, pendidikan dan aktivitas lainnya.

Dari kecil, secara langsung atau tidak langsung, kami diajakarkan untuk berterus terang. Kami juga dibebaskan, tapi bertanggung jawab. Kami semua merasakan tinggal terpisah dengan orangtua dengan modal kepercayaan dari mereka.

Akan tetapi, aku lupa kalau ibu pasti punya keinginan kepada diriku. Aku lupa, ada binar ibu ketika aku pernah menyampaikan sesuatu hal dan raut kecewa ketika aku membatalkan. Aku juga pernah melihat wajah kecewa ibu saat aku memutuskan sesuatu hal. Seperti yang aku bilang, ibu tak banyak menuntut, ibu tak banyak maunya.

Hmm, ibu, maafkan aku... aku belum bisa benar-benar membahagiakanmu ketika aku lagi-lagi mengecewakan untuk hal yang satu itu. Moga perlahan, tapi pasti dengan aktivitas yang aku jalani saat ini aku bisa menata ulang semua ini... dan memberi kabar bahagia untukmu... suatu saat nanti :)



***

"Anda adalah cermin dari pikiran-pikiran Anda Sendiri"
(Syekh Muhammad Al Ghazali)


***



novi_khansa' kreatif

~Graphic Design 4 Publishing~

YM : novi_ningsih
http://akunovi. multiply. com
http://novikhansa. wordpress. com/

sumber : milis sekolah kehidupan

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com