Friday, March 12, 2010

Ditulis oleh Sukron Abdillah

Bismillah...

Biasanya, bagi para pengendara bermotor yang kerap melewati kompleks perumahan atau jalanan dipedesaan, akan begitu akrab dengan istilah polisi tidur. Entah dari mana asal-usul kalimat polisi tidur ini. Yang jelas, tujuan dari pembuatan polisi tidur tersebut, untuk mengatur laju kecepatan kendaraan bermotor yang melintasi jalanan agar tidak cepat.


Seperti yang dikatakan oleh ketua RT sebuah kompleks perumahan di wilayah Bandung, “Kalau nggak dibuat polisi tidur suka terjadi (kecelakaan) tabrak lari”. Ya, dengan penjelasan bapak RT tersebut, berarti polisi tidur adalah semacam ciptaan manusia yang digunakan untuk mengatur lalu lalang kendaraan bermotor. Agar tidak terjadi kebut-kebutan dan tentunya agar bisa menghindari terenggutnya korban jiwa akibat tabrak lari.


Bentuk topografi polisi tidur juga, berasal dari bahan-bahan yang lazim digunakan untuk membangun sebuah rumah. Diantaranya semen, air secukupnya, dan kalau ingin tahan lama bisa menyertakan pasir dalam proses peramuannya. Lalu, posisi fisiknya juga terlentang dari kiri jalan ke kanan jalan bagaikan seorang polisi yang sedang tidur-tiduran. Mungkin juga asal-usul penamaan penghalang jalan dengan istilah polisi tidur bisa dikaitkan dengan kebiasaan polisi lalu lintas di Negara Republik Indonesia ini.


Mereka selalu berada di sekitar jalan untuk mengatur arus lalu lintas kendaraan yang melaju di atas badan jalan. Namun sayangnya, perilaku polisi tidur pun kerap di tiru oleh mereka dengan tidur-tiduran di Pos penjagaan. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, memungut uang sisipan dari para pengendara bermotor dengan alasan tidak ada SIM, tidak memakai helm, dan lain-lain. Bahkan, lebih dari itu.


Pokoknya, selalu saja ada kesalahan yang dilakukan oleh para pengguna jalan raya, yang katanya, sih, sudah membayar pajak pada pemerintah untuk menggaji para polisi itu. Kalau begitu, masih mendingan dengan polisi tidur yang tak pernah sama sekali diberitakan meminta jatah uang bayaran kepada para pengendara yang melintas.


Maka, sentilan kecil pun muncul dari beberapa orang pengguna jalan: “Ah…kalau terus diperas begini, lebih baik mereka diganti saja dengan polisi tidur”. Betul sekali kata-kata si pengendara bermotor ini. Sebab, kalau tujuan utama dibentuknya departemen lalu lintas di kepolisian adalah untuk menjaga keselamatan para pengguna jalan, mengapa mesti bayar?


Coba pikirkan, polisi tidur tidak pernah mengais rezeki dan menambah uang sakunya dengan cara-cara yang lazim dilakukan oknum polisi di Negara RI ini. Wah, kalau begitu, mungkin tidak, sih, menaikkan gaji aparat kepolisian agar tidak mencari uang tambahan untuk memenuhi keperluan hidup di jalan raya?


Andai saja “pungutan liar” dengan mengatasnamakan tugas suci seperti mengatur lalu lintas ini telah mendarah daging, barangkali tidak mungkin mengubah kondisi. Malahan, mungkin akan semakin menjadi-jadi. Sebab untuk bisa masuk ke departemen kepolisian saja perlu biaya sisipan jutaan rupiah. Nah, untuk bisa mengembalikan modal awal masuk tersebut, ya, dengan cara mengais rezeki tambahan di jalan raya. Maaf, bukannya saya memukul rata seluruh anggota kepolisian dengan predikat negatif, karena saya yakin masih ada anggota polisi yang jujur dan berbakti pada Negara.


Meskipun, eksistensinya masih bisa dihitung jari. Tapi, tetap saja mereka akan lebih dihargai oleh masyarakat yang semestinya dilayani seperti seorang raja. Bukan diperas seperti halnya pengurasan potensi alam di seluruh kepulauan Indonesia oleh para begundal tak bertanggung jawab.


Polisi tidak semestinya tidur-tiduran. Dan, jangan pernah mau kalah oleh polisi tidur yang terus-terusan tidur, tapi membantu lalu lintas di kompleks perumahan sehingga kecelakaan (tabrak lari) bisa diminimalisasi. Karena itu, sisi fungsional polisi tidur akan segera tergantikan oleh para anggota kepolisian departemen lalu lintas, kalau mereka mampu tidur dari praktik pemungutan liar (pungli) di jalan raya.


Sebab, tujuan didirikan polisi lalu lintas adalah untuk mengatur dan membenahi kesemrawutan dijalanan. Tidak untuk memungut uang liar. Sejenis uang pungutan yang diperoleh dari kantong para pengendara bermotor secara liar. Sesuai dengan istilah ekologis, kata liar ini menunjukkan pada kondisi keliaran seekor hewan yang belum mampu beradaptasi dengan lingkungannya yang baru.


Nah, untuk menjinakkan hewan tersebut butuh kemampuan yang mumpuni. Misalnya, kepiawaian seperti yang dimiliki para cowboy ketika menjinakkan banteng, kuda dan sapi hutan yang liar. Jadi, uang liar secara istilah adalah uang yang berasal dari kantong orang lain yang harus dijinakkan karena belum bisa dibelanjakan. Orang yang mengambilnya secara paksa, bisa disebut juga dengan “maling” atau pencuri.


Biasanya, sih, untuk menjinakkan uang liar itu para oknum polisi di jalan raya kerap menilang para pengendara bermotor yang melanggar rambu-rambu lalu lintas. Para pengendara nakal yang semestinya membayar denda lebih besar, bisa diturunkan hingga 10 ribu perak, 15 ribu perak, dan 20 ribu perak. Akibatnya mereka (baca: para pelanggar) tidak jera sama sekali. Malahan semakin menjadi-jadi melanggar rambu-rambu lalu lintas. Mengapa? Sebab ketegasan hukum di Negara ini sangat murah sekali sehingga banyak dimanfaatkan oleh para pengendara yang patologis.


Pertanyaannya, mampukah para anggota polisi lalu lintas bersikap dan bertindak seperti polisi tidur? Walaupun polisi tidur posisinya bagaikan orang yang sedang tidur, tapi tak pernah tidur-tiduran ketika mengatur lalu lintas kendaraan di jalan raya.


Bagi para anggota polisi lalu lintas, mungkinkah dengan bayaran gaji per bulan yang tak cukup buat makan, masih bisa mengatur hilir mudik kendaraan bermotor dengan jujur? Kita berdoa dan berusaha saja, mudah-mudahan mereka bisa!

Terakhir diperbaharui ( Minggu, 04 Februari 2007 )

sumber: sekolahkehidupan.com

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com