Friday, March 12, 2010

Ditulis oleh Sukron Abdillah

Bismillah...

Biasanya, bagi para pengendara bermotor yang kerap melewati kompleks perumahan atau jalanan dipedesaan, akan begitu akrab dengan istilah polisi tidur. Entah dari mana asal-usul kalimat polisi tidur ini. Yang jelas, tujuan dari pembuatan polisi tidur tersebut, untuk mengatur laju kecepatan kendaraan bermotor yang melintasi jalanan agar tidak cepat.


Seperti yang dikatakan oleh ketua RT sebuah kompleks perumahan di wilayah Bandung, “Kalau nggak dibuat polisi tidur suka terjadi (kecelakaan) tabrak lari”. Ya, dengan penjelasan bapak RT tersebut, berarti polisi tidur adalah semacam ciptaan manusia yang digunakan untuk mengatur lalu lalang kendaraan bermotor. Agar tidak terjadi kebut-kebutan dan tentunya agar bisa menghindari terenggutnya korban jiwa akibat tabrak lari.


Bentuk topografi polisi tidur juga, berasal dari bahan-bahan yang lazim digunakan untuk membangun sebuah rumah. Diantaranya semen, air secukupnya, dan kalau ingin tahan lama bisa menyertakan pasir dalam proses peramuannya. Lalu, posisi fisiknya juga terlentang dari kiri jalan ke kanan jalan bagaikan seorang polisi yang sedang tidur-tiduran. Mungkin juga asal-usul penamaan penghalang jalan dengan istilah polisi tidur bisa dikaitkan dengan kebiasaan polisi lalu lintas di Negara Republik Indonesia ini.


Mereka selalu berada di sekitar jalan untuk mengatur arus lalu lintas kendaraan yang melaju di atas badan jalan. Namun sayangnya, perilaku polisi tidur pun kerap di tiru oleh mereka dengan tidur-tiduran di Pos penjagaan. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, memungut uang sisipan dari para pengendara bermotor dengan alasan tidak ada SIM, tidak memakai helm, dan lain-lain. Bahkan, lebih dari itu.


Pokoknya, selalu saja ada kesalahan yang dilakukan oleh para pengguna jalan raya, yang katanya, sih, sudah membayar pajak pada pemerintah untuk menggaji para polisi itu. Kalau begitu, masih mendingan dengan polisi tidur yang tak pernah sama sekali diberitakan meminta jatah uang bayaran kepada para pengendara yang melintas.


Maka, sentilan kecil pun muncul dari beberapa orang pengguna jalan: “Ah…kalau terus diperas begini, lebih baik mereka diganti saja dengan polisi tidur”. Betul sekali kata-kata si pengendara bermotor ini. Sebab, kalau tujuan utama dibentuknya departemen lalu lintas di kepolisian adalah untuk menjaga keselamatan para pengguna jalan, mengapa mesti bayar?


Coba pikirkan, polisi tidur tidak pernah mengais rezeki dan menambah uang sakunya dengan cara-cara yang lazim dilakukan oknum polisi di Negara RI ini. Wah, kalau begitu, mungkin tidak, sih, menaikkan gaji aparat kepolisian agar tidak mencari uang tambahan untuk memenuhi keperluan hidup di jalan raya?


Andai saja “pungutan liar” dengan mengatasnamakan tugas suci seperti mengatur lalu lintas ini telah mendarah daging, barangkali tidak mungkin mengubah kondisi. Malahan, mungkin akan semakin menjadi-jadi. Sebab untuk bisa masuk ke departemen kepolisian saja perlu biaya sisipan jutaan rupiah. Nah, untuk bisa mengembalikan modal awal masuk tersebut, ya, dengan cara mengais rezeki tambahan di jalan raya. Maaf, bukannya saya memukul rata seluruh anggota kepolisian dengan predikat negatif, karena saya yakin masih ada anggota polisi yang jujur dan berbakti pada Negara.


Meskipun, eksistensinya masih bisa dihitung jari. Tapi, tetap saja mereka akan lebih dihargai oleh masyarakat yang semestinya dilayani seperti seorang raja. Bukan diperas seperti halnya pengurasan potensi alam di seluruh kepulauan Indonesia oleh para begundal tak bertanggung jawab.


Polisi tidak semestinya tidur-tiduran. Dan, jangan pernah mau kalah oleh polisi tidur yang terus-terusan tidur, tapi membantu lalu lintas di kompleks perumahan sehingga kecelakaan (tabrak lari) bisa diminimalisasi. Karena itu, sisi fungsional polisi tidur akan segera tergantikan oleh para anggota kepolisian departemen lalu lintas, kalau mereka mampu tidur dari praktik pemungutan liar (pungli) di jalan raya.


Sebab, tujuan didirikan polisi lalu lintas adalah untuk mengatur dan membenahi kesemrawutan dijalanan. Tidak untuk memungut uang liar. Sejenis uang pungutan yang diperoleh dari kantong para pengendara bermotor secara liar. Sesuai dengan istilah ekologis, kata liar ini menunjukkan pada kondisi keliaran seekor hewan yang belum mampu beradaptasi dengan lingkungannya yang baru.


Nah, untuk menjinakkan hewan tersebut butuh kemampuan yang mumpuni. Misalnya, kepiawaian seperti yang dimiliki para cowboy ketika menjinakkan banteng, kuda dan sapi hutan yang liar. Jadi, uang liar secara istilah adalah uang yang berasal dari kantong orang lain yang harus dijinakkan karena belum bisa dibelanjakan. Orang yang mengambilnya secara paksa, bisa disebut juga dengan “maling” atau pencuri.


Biasanya, sih, untuk menjinakkan uang liar itu para oknum polisi di jalan raya kerap menilang para pengendara bermotor yang melanggar rambu-rambu lalu lintas. Para pengendara nakal yang semestinya membayar denda lebih besar, bisa diturunkan hingga 10 ribu perak, 15 ribu perak, dan 20 ribu perak. Akibatnya mereka (baca: para pelanggar) tidak jera sama sekali. Malahan semakin menjadi-jadi melanggar rambu-rambu lalu lintas. Mengapa? Sebab ketegasan hukum di Negara ini sangat murah sekali sehingga banyak dimanfaatkan oleh para pengendara yang patologis.


Pertanyaannya, mampukah para anggota polisi lalu lintas bersikap dan bertindak seperti polisi tidur? Walaupun polisi tidur posisinya bagaikan orang yang sedang tidur, tapi tak pernah tidur-tiduran ketika mengatur lalu lintas kendaraan di jalan raya.


Bagi para anggota polisi lalu lintas, mungkinkah dengan bayaran gaji per bulan yang tak cukup buat makan, masih bisa mengatur hilir mudik kendaraan bermotor dengan jujur? Kita berdoa dan berusaha saja, mudah-mudahan mereka bisa!

Terakhir diperbaharui ( Minggu, 04 Februari 2007 )

sumber: sekolahkehidupan.com

ANTARA TERTAWA DAN MENANGIS

Ditulis oleh Fiyan Arjun Sabtu, 17 Februari 2007

Bismillah..

Dalam kehidupan manusia, tentunya kita bisa mendengar dan melihat salah satu bentuk kekuasaan Sang Pencipta, yaitu dipasang-pasangkannya setiap makhluk yang diciptakan-Nya. Ada baik yang berpasangan dengan buruk ketika manusia melakukan sesuatu tanpa disadari, ada jantan dan betina untuk hewan yang ingin mengembangbiakan keturunannya. Akan halnya manusia, ada perempuan dan laki-laki untuk meneruskan kelangsungan keturunan. Begitu pun dengan perjalanan hidup manusia, ada tawa dan tangis. Semuanya diciptakan Tuhan dengan penuh adil.

Seandainya ada seorang bayi lahir ke dunia dengan tertawa, mungkin ini adalah bentuk keajaiban di antara sekian banyak keajaiban. Lumrahnya, bayi lahir dalam keadaan menangis. Bagaimana halnya jika seseorang menangis karena merasa berdosa? Tampaknya ini belum lumrah terjadi. Saya pribadi pun belum tergugah dengan dosa-dosa yang telah saya lakukan. Namun sebagai seorang manusia yang bernurani, tanpa sadar saya pun bisa mengalaminya. Bisa menangis karena merasa telah melakukan suatu kesalahan. Utamanya dosa pada orangtua (ibu).

Kok saya bisa menangis juga, ya!” kata saya kepada seorang kawan disela-sela acara Pelatihan Heart Intilgence Training yang diselenggrakan oleh Lembaga Kepemudaan ditempat saya tinggal, tanggal 1 Oktober 2006 lalu. Sebuah acara dengan peserta khusus para remaja, untuk memantapkan kecerdesan inteletual dalam membangun kecerdasan hati dan emosi. Sesuai dengan temanya yakni “Bersama HATI yang CERDAS menjadikan HIDUP LEBIH BERPRESTASI dengan mensinergikan kecerdasan inteletual, emosi dan spiritual, diperkuat dengan senam otak, rule play, simulasi dan games.

Lantas apa jawab kawan saya tadi? “Ya, berarti kamu masih punya hati. Kalau tak punya hati, kamu tidak mungkin menangis.” Manusiawikah? Entahlah? Banyak manusia yang (tidak) punya hati tapi mereka tidak menyadarinya. Misalnya ketika mengalami putus cinta. Meratap, menangisi cintanya yang kandas, berminggu-minggu lamanya. Saya masih ingat kata-kata seorang kawan, “Menangislah karena dosa, jangan menangis karena cinta.” Sebuah penyadaran, bahwa cinta tak selamanya membuat manusia bahagia. Terkadang cinta membuat manusia lupa akan dirinya sebagai makhluk yang penuh nafsu dan emosi.

Lantas bagaimana dengan kita, ketika dilahirkan ke bumi? Tertawakah? Menangiskah? Atau malah langsung bisa lari sekencang dan selihai David Beckham menggiring bola. Tentunya hal itu akan membuat geger banyak orang. Pertanyaan tentang kenapa ketika bayi lahir selalu menangis, hingga detik ini belum ada yang tahu persis penyebabnya. Hanya Allah yang tahu arti tangisan itu.

Sebagian orang mengatakan bahwa tangisan tersebut disebabkan oleh rasa terkejut si bayi demi melihat alam dunia yang samasekali bebeda dengan alam rahim. Yang tadinya terasa nyaman, terlindung dan terjamin keperluannya, tiba-tiba harus pindah ke situasi lain yang panas, berpolusi dan bising. Yang pasti, tidak ada kata yang terucapkan dari bibir manusia ketika lahir kecuali tangisan.

Dalam perjalanannya, sang bayi berkembang seiring dengan perubahan situasi, sementara orangtuanya mengupayakan kebutuhannya sekuat tenaga. Sang bayi akan selalu terpenuhi kebutuhannya tanpa perlu mendapatkan masalah dan sebatas tertawa gembira jika mendapatkan kesenangan.

Tertawa adalah hal yang baik dan wajar dilakukan oleh semua orang, apalagi jika dapat membuat orang lain ikut senang. Seperti kata Rasullulah, “Memberikan kegembiraan kepada orang lain adalah sedekah.” Tertawa merupakan sarana amal yang mudah sekaligus murah. Kata orang, tertawa dapat menjadi obat awet muda... Kata orang kreatif “tertawalah kamu sebelum tertawa itu dilarang.” Bagaimana dengan Anda? Apakah pernah tertawa, setidaknya menertawakan diri sendiri?

Tertawa yang dilarang adalah jika ditujukan untuk mengejek atau meremehkan orang lain. Di sisi Tuhan, semua manusia sama. Kelebihan dan kekurangan yang diberikan oleh Tuhan bukan menjadi alasan untuk bebas saling menertawakan atau meremehkan. Daripada menertawakan orang lain, ada baiknya kita menertawakan diri sendiri.

Sementara itu tangisan—yang merupakan luapan emosi kadang kala dapat menjadi penyaluran yang efektif untuk meringankan beban yang ada di pundak kita. Manakala kita sering menangis sedih karena kekurangan sesuatu yang kita cintai adalah hal yang manusiawi tapi hendaknya tidak membuat kita lupa bahwa kita semua adalah milik Allah dan suatu saat pasti akan kembli. Tidak ada yang kekal adalah kepemilikan, semua itu adalah titipan Tuhan.

Tangisan yang disukai Tuhan adalah ketika kita menangis karena sadar akan dosa dan kesalahan yang kita perbuat. Kesedihan yang seperti itu pada hakikatnya adalah awal kebahagiaan buat masa depan. Namun kita sendiri sebagai manusia tidak sekali pun pernah atau bahkan menyesali segala kelalaian maupun kealpaannya terhadap Tuhan. Banyak dari mereka mengaku, “Saya sudah adil kok!” “Saya sudah tobat kok.” Namun ternyata itu semua hanya isapan jempol belaka ketika mereka berbuat itu karena terjebak dan diketahui oleh orang lain. Padahal mereka tidak tahu bahwa itu semua hanya Tuhan yang bisa berbuat demikian. Adil dan pemberi ma’af. Maka itu janganlah sekali-kali mengakui bahwa diri kita orang yang paling bersih di mata-Nya. Karena hak itu hanya Dia-lah yang punya.

Airmata yang berlinang di pipi ketika mengakui kesalahan dan dosa di hapadan Allah yang juga diikuti istighfar adalah laksana air surga yang sejuk membasuh menghapus segala noda yang melekat pada diri kita. Inilah upaya kita untuk mencapai hidup yang khusnul khotimah, karena perbuatan yang baik akan mengikis pebuatan yang jelek.

Tertawa dan menangis adalah fitrah manusia tetapi kita harus pandai menempatkannya kapan harus menangis, kapan kita harus tertawa sehingga kita bisa termasuk ke dalam orang yang bersyukur.

Keadaan seperti itulah yang kita dambakan sehingga kita lahir dengan tangisan sedih maka kita akan tertawa gembira ketika kita meninggal untuk kembali kepada-Nya yang telah menjadikan kenikmatan abadi yaitu surga. Waallahualambishowab!

sumber: sekolahkehidupan.com

BERHATI-HATILAH DENGAN KELUH KESAH

Ditulis oleh C.Alin
Sabtu, 12 Mei 2007


Manusia terlahir dalam suasana batin yang serba keluh kesah, putus asa dan gemar melakukan pelanggaran dari pada berusaha mencari jalan yang benar. Itulah sifat manusia yang umum. Demikian juga dengan seorang ibu rumah tangga, mereka akan resah kala pendapatan sang suami sedikit, ia menganggap kurang menyukupi kebutuhan rumah tangganya. Bahkan rumor yang beredar, nasib suamilah yang menjadi pegawai rendahan.
Seorang tetangga satu block datang pada saya dengan cucuran air mata dan sumpah serapah. Sebagian kata-katanya mengutuk sang suami dan ditujukan pada nasibnya yang malang. Sang Suami tidak mencintainya lagi dan memarahinya karena ia selalu kurang bisa mengelola penghasilannya. Padahal dia sudah semaksinal mungkin mengelola uang tersebut untuk kebutuhan rumah tangganya. Ia menyesal kenapa memilih dia menjadi suaminya yang hanya sebagai pegawai rendahan padahal masa remajanya banyak orang kaya dan berpangkat mengajaknya berumah tangga tetapi ia menolaknya.
Saya hanya tersenyum saja. Saya kenal tetangga yang satu ini. Orangnya royal tak bisa hidup sederhana. Saya hanya bisa menilainya dari apa yang ia pakai dalam kesehariannya juga kala ada kumpulan arisan di tetangga. Aksesoris yang melekat di tubuhnya adalah barang-barang kelas mahal. Sikap dan sifat suami yang demikian adalah batasan umum, sehingga saya menyimpulkan ; baik tidaknya suami, cinta tidaknya suami, kurang dan lebihnya pendapatan, rendah ataupun tingginya jabatan adalah dari mana seseorang itu mengukurnya.
Kemudian pikiran saya melayang pada dua teman saya. Seorang dengan gaji suami Rp. 1.750.000,- perbulan dan seorang dengan gaji suami Rp. 1.000.000 perbulan. Ada sisi yang menarik dari orang kedua itu. Keduanya memiliki suami yang kerja dalam perusahan yang sama, waktu yang sama dan keduanya sedang membangun rumah. Teman yang suaminya bergaji Rp. 1.750.000,- meminjam uang di bank dengan jumlah yang akan dicicil 12 bulan, sedang teman yang suami bergaji Rp. 1.000.000,- ia selalu menabung gaji suami yang diberikannya yang ia kumpulkan setiap bulannya. Kenyataan 2 tahun selanjutnya teman yang suami bergaji Rp. 1.000.000,- dengan santai tidak ngoyo rumah didirikan. Suami makin mencintainya karena ia banyak membantu dalam mengelola penghasilannya. Dengan demikian juga teman yang bergaji Rp 1.750.000,-itu, rumah didirikan tetapi utangnya menumpuk di bank, suami suka marah karena dia tidak bisa menabungkan uangnya. Setiap bertemu wajahnya kusut, dengan keluh kesah untuk mengeluarkan beban hatinya.
"Sesungguhnya manusia itu di ciptkan bersifat keluh kesah lagi kikir, Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh. Dan Apabila mendapat kebaikan, ia kikir "( Q.S Al Ma'aarij(70) :19-21)

Memang respon manusia atas nikmat Allah itu bermacam-macam tergantung bagaimana manusia itu mensyukurinya sebagaimana do'a kusyu' dipanjatkan oleh Ali Zainal Abidin, seorang cucu Rasulullah ini, ketika beliau sakit.

" Ya Allah. Aku tak tahu bagaimana yang harus aku syukuri , sehat atau sakitku? Dimana diantara pujian itu yang patut aku sampaikan pujian padaMU? Apakah waktu sehat ketika Engkau senangkan aku dengan rejeki MU yang baik dan Engkau giatkan aku dengan rejeki itu untuk memperoleh ridho dan karuniaMU, Engkau kuatkan aku untuk melaksanakan ketaatanku padaMU atau waktu sakitku ketika Engkau membersihkan dosaku dan meringankan dosa-dosaku yang memberati punggungku, menyucikan diriku dari liputan kesalahan mengingatkan aku untuk bertaubat kepadaMU dan menyadarkan aku untuk menghapus kekhilafanku dan melaikan syukur atas nikmatMU?"

Kadang nikmat Allah yang diberikan pada kita bisa berupa, kesehatan, sakit, sedih kebahagian dan lain sebagainya. Allah telah mendidik kita menderita dan bahagia , Allah tengah mendidik kita dengan kesusahan, kekurangan atau kelebihan. Ketika kita diuji dengan kemiskinan kita putus asa, mengerutu dan memaki ketidak adilan Tuhan. Bahkan kita sering mengambil jalan pintas, walau sebenarnya masih ada jalan yang lain, yang bisa kita lakukan lebih baik dan akan membawa kita pada kebaikan.
Kita diuji oleh Allah dengan kemiskinan, sulit mendapatkan lapangan pekerjaan dan lain sebagainya, sebenarnya bukanlah alasan untuk berkeluh kesah dan menyalahkan ketetapan Allah atas nasibnya. Seandainya kita berfikir panjang, berapa banyak nikmat Allah yang telah kita kecap. Berapa lama penderitaan yang kita alami ? Paling nikmat dari sudut segi kehidupan kita yang lain? Ingatlah janji Allah, bahwa bersama kesulitan ada kemudahan. Dan Allah akan memberi kelapangan setelah kesempitan. Memang tak salah kalau kita membandingkan nasib dengan nasib orang lain yang lebih baik. Itu penting sebagai pemompa spirit kita. Tetapi janganlah itu membuat kita rendah diri dan putus asa, apalagi menyerah sebelum berbuat sesuatu, kebanyakan kita terlalu memikirkan sesuatu yang tak ada, dari pada mensyukuri yang telah ada. Padahal apa yang ada itu walau jelek dan sedikit akan berguna apabila kita bisa mempergunakan dengan baik.

Seorang bijak, Bazer Jamhar menasehati, " Kesulitan yang datang sebelum kemudahan itu laksana rasa lapar yang datang sebelum ada makanan."

Dari nasihat itu kita bisa ambil garis besarnya, letak kesulitan akan tepat datangnya kemudahan, karena makanan akan terasa lezat, enak ketika kita makan dalam keadaan lapar.

Maka dari itu alangkah tak layaknya kita menggerutu dan berkeluh kesah dengan keadaan kita masih banyak orang yang lebih menderita, lebih sehat, lebih sakit dari kita Lihatlah kehidupan saudara-saudara kita yang berada di daerah perang, ditempat - tempat musibah. Kita wajib bersyukur atas karunia dan rahmat Allah yang diberikan pada kita. Kenapa kita masih mengeluh? Berhati-hatilah kita dengan keluh kesah karena itu akan membawa kita pada dosa dan mengingkari nikmat Allah. (17feb.2007)
Seperti tarian jari-jari siburung camars

sumber : http://sekolahkehidupan.com

Cerita Tentang Ibu

Pada sebuah kesempatan saat kuliah, salah satu dosen kami bercerita. Hal yang biasa sebagai selingan dari materi yang beliau sampaikan. Ada beberapa cerita yang sempat terulang, misalnya kisah Rabi'ah Al Adawiyah. Kali ini, ceritanya tentang seorang ulama yang sudah banyak menghasilkan karya.

Ulama yang satu ini, aku agak lupa persisnya nama ulama tersebut, saking rajinnya mencari ilmu dan menulis sehingga tidak sempat makan. Ibunya yang melihat hal itu tidak tega dan menyuapi makanan kepada anaknya tersebut. Hmm, saking konsentrasinya dengan apa yang dikerjakan (menulis) anak tersebut sampai tak sadar kalau makanannya sudah habis. Setelah aktivitasnya selesai, dia kembali meminta makan kepada sang ibu, hehe.

Di sini, aku bukannya menyorot keseriusan ulama tersebut karena saking seriusnya belajar sampai tidak sadar makanannya sudah habis, tapi kemuliaan seorang ibu.

Ketika sang dosen bercerita hal tersebut, aku langsung ingat ibuku. Seringkali ketika aku sibuk di depan komputer, ibu menyodorkan makanan siap saji, hehe bukan junk food, tapi nasi yang sudah beserta lauk dan sayur, kalau perlu plus buah. Tak jarang, ketika disodorkan makanan tersebut, aku menaruh kembali di meja dan ibu menyuruh aku segera memakannya. Berhenti sejenak dari aktivitas yang ibu tahu konsekuensinya.

Suatu kali, ketika aku sibuk bermain dengan 3 keponakanku di depan laptop. Merekam kegiatan mereka dari menyanyi, bercanda dan lain-lain, ibu pun kembali menyodorkan makan malam. Hehehe, aku sampai lupa kalau belum makan karena sedang seru-seruan dengan mereka. Akhirnya, aku dan kedua keponakanku yang masih bertahan di depan laptop menikmati makanan dari ibu.

Tidak hanya pada aku ibu berbuat seperti itu, kepada kedua kakakku juga sama. Pokoknya harus makan, harus sehat. Kalau susah diingatkan ya langsung disodorkan.

Itu hanya salah satu contoh kebaikan yang ibu berikan kepada kami, masih banyak hal lain yang kalau mengingatnya membuatku menangis. Di usia tuanya, ibu masih terus memberikan segalanya kepada kami dengan melimpahnya pengertian yang beliau miliki. Padahal ibu juga punya impian untuk mengurus mbah yang usianya makin tua di kampung.

Kini, ibu lebih sering tinggal di rumah kakak yang masih repot-repotnya mengurus 4 anak yang masih kecil. Sesekali, ibu pulang ke rumah kami di sini yang sekarang dihuni aku dan kakak laki-lakiku yang sudah menikah.

Dari dulu, kalau bisa aku lihat dengan matahati ibu dan bapak benar-benar seimbang mendidik kami. Bapak dengan ketegasan dan kemandirian dan ibu dengan kelembutan dan kasih sayang. Ibu juga menjadi 'jembatan' antara kami semua. Ibu titik sentral keluarga kami. Ibu tempat curhat segala-galanya, bahkan ibu juga bagai teman bagiku. Ibu jarang menentangku, hampir selalu menuruti keinginanku.



Dengan argumen yang kuat dan kesungguhanku untuk membuktikan serta kecintaan pada sesuatu, ibu akan mendukung hal tersebut. Ketika aku ingin kuliah lagi, ketika aku tidak mau kerja kantoran, ketika aku ingin kursus, ketika aku lebih memilih tinggal sendiri saat itu, ketika banyak hal yang terjadi dalam hidupku, beliau selalu dan selalu mendukung.

Ibu juga tak jarang mengkritik dan menasehatiku. Ibu tak pernah menuntutku macam-macam. Ibu tahu benar, keinginanku banyak, aktivitasku juga banyak, aku ingin ini dan itu, dan di sana ibu selalu menjadi tempat mengadu dan manajer yang selalu mengingatkan.

Ibu juga suka bercerita tentang masa lalu, masa kecil, ketika baru menikah, ketika menjalani masa-masa berat pindah ke Jakarta, dan banyak lagi. Aku selalu senang mendengar cerita ibu. Aku jadi tahu kalau ibu pernah menempuh jalan yang cukup jauh untuk jualan bakwan dan makanan kecil lainnya sambil menggendong aku yang masih bayi.

Aku jadi ingat, ibu pula yang mengajarkanku jualan es, tidak hanya mengajarkan, tetapi membuatkan ketika malam-malam. Ibu meracik susu coklat dan sirup dan kemudian kami akan membungkusnya. Hasil penjualan es bisa untuk membayar listrik saat itu.

Aku merasa mendapat begitu banyak dari sosoknya, tetapi makin hari merasa kurang memberi kepadanya... .

Menyadari sekali belakangan ini, aku terlalu sibuk dengan aktivitasku, belakangan malah ibu kembali menurutiku untuk menjalani aktivitas baru yang insya Allah akan dimulai bulan April.
Aku tahu aku sudah cukup dewasa dalam mengambil keputusan, tetapi aku merasa perlu melaporkan segala hal yang aku lakukan kepada ibu, apalagi hal itu berkenan dengan pekerjaan, pendidikan dan aktivitas lainnya.

Dari kecil, secara langsung atau tidak langsung, kami diajakarkan untuk berterus terang. Kami juga dibebaskan, tapi bertanggung jawab. Kami semua merasakan tinggal terpisah dengan orangtua dengan modal kepercayaan dari mereka.

Akan tetapi, aku lupa kalau ibu pasti punya keinginan kepada diriku. Aku lupa, ada binar ibu ketika aku pernah menyampaikan sesuatu hal dan raut kecewa ketika aku membatalkan. Aku juga pernah melihat wajah kecewa ibu saat aku memutuskan sesuatu hal. Seperti yang aku bilang, ibu tak banyak menuntut, ibu tak banyak maunya.

Hmm, ibu, maafkan aku... aku belum bisa benar-benar membahagiakanmu ketika aku lagi-lagi mengecewakan untuk hal yang satu itu. Moga perlahan, tapi pasti dengan aktivitas yang aku jalani saat ini aku bisa menata ulang semua ini... dan memberi kabar bahagia untukmu... suatu saat nanti :)



***

"Anda adalah cermin dari pikiran-pikiran Anda Sendiri"
(Syekh Muhammad Al Ghazali)


***



novi_khansa' kreatif

~Graphic Design 4 Publishing~

YM : novi_ningsih
http://akunovi. multiply. com
http://novikhansa. wordpress. com/

sumber : milis sekolah kehidupan

Template by : kendhin x-template.blogspot.com