Monday, March 8, 2010

Gelisah Seorang Ibu

Bismillah..

Hari ini hujan yang telah lama tak hadir kembali mengguyur kotaku. Walau tak merata dan tak lama turunnya, namun cukuplah membawa kesegaran yang tlah lama tak menyapa.
Hari ini hujan bukan saja menyapa tanah di luar gedung, namun juga ada "hujan" di ruanganku. Hari ini tangisku pecah.

"Kak, pasien yang sudah 2 hari di rawat ini pembukaannya ngga maju – maju. Sudah di konsul ke dr.Mira, katanya di minta ke Salam (RS mitra kami_red) untuk USG. Kalau smua masih bagus, kita tunggu, tapi kalau bermasalah langsung di sectio. Tapi pasiennya ngga mau. Dia nangis terus dari tadi. Katanya mending dia pulang aja daripada di bawa ke rumah sakit", terang Bidan Nur kepadaku saat aku sedang menikmati santap siang bersama teman – teman di pantry kantor.

Segera kusudahi santap siang dan menuju ruang persalinan. Saat itu terlintas ada 2 nyawa yang akan melayang jika ibu ini bersikeras tidak mau ke rumah sakit. Galau hatiku.

" Mungkin dia makin stress kak, karena anaknya ini mau diambil saudaranya jika sudah lahir. Suaminya ngasi aja karena hidup mereka juga sudah susah" tambah bidan Nur lagi.
Makin tercekat hatiku.

Saat memasuki ruangan, aku yang biasanya bisa ceria menghibur pasien, kali ini seolah kehilangan kata – kata. Pemandangan yang ada di depanku membuat hatiku tercekat.

Di sudut ruangan, silvia yang masih berumur 9 tahun menangis sambil memeluk kakinya yang di lipat. Anak tertua dari Ibu Parida ini menangis karena melihat ibunya menangis. Sementara ibu Parida duduk dengan wajah yang membuatku terenyuh. Wajahnya tampak sangat pasrah dengan air mata yang luruh di pipinya. Pelan tangannya mengusap air mata dengan kain yang dia gunakan. Namun air bening itu jatuh dan jatuh lagi.

"Ibu kenapa ngga mau di bawa ke rumah sakit", tanyaku.
Ibu Parida Cuma menggeleng perlahan.

"Pulang aja ya bu", ujarnya perlahan.

"Kenapa bu? Kita USG aja dulu. Kita berdoa semoga masih bisa normal. Nanti ibu pulang kesini lagi ", bujukku.

"Saya ngga mau di operasi".

"Ibu ngga ada dana ya? Sudah la bu, jangan di pikirkan itu. Yang penting sekarang ibu dan bayi selamat. Kami yang akan menanggulangi biayanya. Lagian kan belum tentu di operasi", bujukku lagi.

Mendengar kata – kata ku, barulah beliau menganggukan kepalanya.
Alhamdulillah ... lega sekali rasa hatiku

"Bu, saya tidak akan izinkan anak saya di ambil", ujar bu Parida dengan wajah yang sulit aku terjemahkan maknanya.

"Iya bu, nanti kalau perlu saya bantu bicara dengan suami ibu ya", aku berusaha untuk menenangkan beliau.

Segera kuminta perawat untuk menyiapkan Ambulance yang akan mengantar ibu Parida ke Rumah Sakit.

Silvia belum juga berhenti menangis. Aku memanggilnya dan membujuknya untuk tidak menangis. Bergantian aku dan perawat memeluknya untuk membantu menenangkannya. Aku ajak bocah kelas 4 SD ini berbincang tentang sekolah dan adiknya untuk mengalihkan kesedihannya.

Belum lagi ibu Parida berangkat, ibu Ningsih yang sedang menunggu kelahiran anak pertamanya mengerang kesakitan. Duh Subhanallah berat perjuangan bunda tuk melahirkan buah hati amanah Allah.
Ku hampiri Ibu Ningsih dan memberikan sugesti agar beliau bersemangat dalam menghadapi proses persalinan ini. Suami yang mendampingi tak mampu berkata apa – apa. Hanya tangannya saja yang bergerak mengelis perut istrinya yang mulas. Wajah beliau tampak tegang.

Usai bu Parida berangkat dan bu Ningsih mulai tenang, aku kembali ke ruangan. Di ruangan yang mulai gelap karena mendung menyelimuti kotaku, air mataku mulai tumpah. Sengaja tak kuhidupkan lampu karena tak mau orang lain tau aku menangis.

Ya Allah, betapa berat beban Bu Parida. Sampai – sampai karena ketiadaan biaya dia jadi seperti tak punya harapan hidup lagi. Bahkan tak memikirkan nasib dirinya dan bayi dalam kandungannya.
Ditambah lagi dengan niat suaminya memberikan anaknya pada orang lain karena beban hidup yang tinggi.
Tak sanggup aku melukiskan galaunya hatiku melihat kenyataan ini.

Program Jamkesmas, Medan Sehat, Keluarga Harapan tak bisa mereka dapatkan entah karena aparat pemerintah di lingkungan mereka kurang peka atau apa, aku tak sanggup menguraikannya.

Jika saja kami bisa berbuat lebih. Namun hingga saat ini, kami hanya sanggup menolong persalinan normal di Rumah Bersalin Gratiis yang sederhana ini. Kami belum memiliki ruang operasi sehingga belum bisa melayani pasien yang harus mendapat tindakan operasi.

Dalam gelap, dalam diam aku terus menangis.
Ya Allah ... Kuatkan kami untuk terus bisa menyentuh dan memandirikan pada dhuafa.
Ya Allah ... Jadikanlah kami hamba MU yang terus bersyukur

Pukul 17.30 Ibu Ningsih melahirkan bayi perempuan. Namun resahku masih tersisa karena tangisan bayi masih seperti merintih. Perawat terus berupaya melakukan resusitasi bayi agar bisa menangis kencang.

Alhamdulillah usai USG, ibu Parida diperbolehkan kembali ke RBG dan kami melanjutkan perawatan dengan pantauan ketat dari dokter kandungan.
Saat ini, pembukaan ibu Parida juga sudah mengalami kemajuan dan mulas – mulas juga semakin sering.
Tak ingin rasanya pulang ke rumah hingga Bu Parida melahirkan dengan normal. Namun, ibunda tercinta juga harus mendapatkan hak dari anaknya ini. Karena jika tidak, beliau juga akan sangat gelisah menanti anaknya belum pulang se sore ini.

Hari ini ENGKAU memberikan sebuah sentuhan yang luar biasa bagi hamba MU ini ya Allah. Smoga hamba mampu memberikan karya yang terbaik agar ENGKAU dan RASUL MU tersenyum.

Medan, 5 Maret 2010
* Jangan Pernah berhenti mensyukuri smua nikmat NYA *

anty thahir

sumber : milis sekolah kehidupan

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com